BUD-KĀRO HOTI SAṀBHAVO |
Catu Bhāṇavāra (‘Empat Pembacaan’) merupakan koleksi paritta tertua berikutnya, yang memperlihatkan pengembangan lebih lanjut dari Khuddaka Pāṭha. Isinya sangat primitif sebab memuat sutta-sutta dari Kanon Pāli secara utuh apa adanya — berbeda dengan koleksi-koleksi belakangan yang membuat paritta baru sebagai pengganti yang lebih singkat, misalnya untuk Bojjhaṅga dan Āṭānāṭiya. Catu Bhāṇavāra begitu populer sehingga dibawa dan dikenal pula di Asia Tenggara daratan. Pendarasannya merupakan tradisi yang hidup sampai hari ini, khususnya di Sri Lanka, juga di Thailand. 〔Di Myanmar pada zaman modern ini ia telah terlupakan; tetapi manuskripnya dapat kita temukan meski tidak diketahui seberapa besar pengaruhnya dalam Buddhisme Birma pada masa lampau.〕
Dibandingkan dengan koleksi-koleksi lain, penggunaan Catu Bhāṇavāra paling terdokumentasikan sejarahnya. Namun, kapan dan oleh siapa ia dikompilasi? Ada yang meyakini para arahat di Rājagaha yang menyusunnya tidak lama setelah Konsili Pertama selesai. Pendapat ini jelas anakronistis karena pada saat finalisasi Kanon Pāli pun baru terdapat buku Khuddaka Pāṭha, yang merupakan prototipe dari Catu Bhāṇavāra. Mengomentari Bhikkhu-pācittiya dari Vinaya Piṭaka, dalam Samantapāsādikā (“Ovāda Vagga”) Buddhaghosa menyebutkan adanya ‘empat pembacaan dari suttanta’ (suttantato cattāro bhāṇavārā). Akan tetapi, dari konteksnya sepertinya bukan merujuk pada suatu koleksi paritta. Sebuah tradisi lain lagi menyatakan bahwa kira-kira 900 tahun setelah Buddha parinirvāṇa (k.l. abad IV M) sekelompok bhikkhu di Sri Lanka menyusunnya. Namun, keterangan yang lebih pasti diperoleh dari inskripsi Raja Kassapa V (memerintah 929–939 M) yang ditemukan di daerah Jetavana di situs kota kuno Anurādhapura. Ia memaklumatkan agar setiap orang yang hendak menerima upasampadā harus terlebih dahulu menghafal Catu Bhāṇavāra di luar kepala — menunjukkan eksistensi buku ini di abad X.
Komentar berbahasa Pāli untuk Catu Bhāṇavāra dibuat oleh seorang siswa dari Bhikkhu Ānanda Vanaratana (tampaknya dari periode Dam̆badeṇiya, abad XIII) atas permintaan Anomadassī Thera, dengan judul Sāratthasamuccaya (‘Himpunan Arti Esensial’). Saṅgharāja Sri Lanka terakhir, Saraṇaṅkara (1698–1778), juga menyusun komentar dalam bahasa Sinhala yang berjudul Sārārtha Dīpanī (‘Manual Arti Esensial’). Namun, ia mengatakan bahwa ia bukan mengarang langsung komentar ini, melainkan hanya memparafrase komentar-komentar Sinhala lain yang sudah beredar sebelumnya.
Ada dua redaksi Catu Bhāṇavāra. Redaksi asli hanya memuat 22 teks. Redaksi inilah yang dikomentari dalam Sāratthasamuccaya maupun Sārārtha Dīpanī. Redaksi ini pula yang diperkenalkan ke Birma dan Thailand (di mana judulnya dieja dengan b dobel, Catubbhāṇavāra) berabad-abad lampau. Mengingat, selain di Sri Lanka, penggunaan Catu Bhāṇavāra hanya berlanjut di Thailand, maka keduanya saja yang akan diperbandingkan pada tabel berikut. Terdapat perbedaan pembagian bhāṇavāra antara edisi Sri Lanka dengan edisi Thai:
Dari bhāṇavāra pertamanya dapat kita lihat bahwa Catu Bhāṇavāra berakar dari tradisi yang sama dengan Khuddaka Pāṭha. Catu Bhāṇavāra menyisipkan Paccavekkhanā dan Dasadhamma Sutta setelah empat teks pertama dan, di sisi lain, menghapuskan Tirokuḍḍa dan Nidhikaṇḍa dari antara Ratana Sutta dan Metta Sutta.
Redaksi Sri Lanka Modern
Redaksi kedua, yang lebih panjang, memuat 29 teks. Redaksi ini dapat dijumpai hampir di setiap rumah di Sri Lanka modern, dan lebih dikenal dengan sebutan terhormat Piruvānā Pot Vahansē පිරුවානා පොත් වහන්සේ (‘Paduka Pustaka Pendarasan’) atau Maha Pirit Pota මහ පිරිත් පොත (‘Pustaka Paritta Agung’). Antara bhāṇavāra kedua dan ketiga dari redaksi asli, kini disisipkan tujuh sutta tambahan (dalam terjemahan Bhikkhu Ānandajoti disebut “Atirekāni Sattasuttāni”). Ketujuh sutta tersebut adalah:
Satu hal lagi yang patut dicermati adalah keberadaan bait-bait pengantar paritta yang diistilahkan dengan sebutan bermacam-macam: nidāna, uddesa, atau uyyojana (‘pengajakan’). Bait-bait yang pengarangnya anonim ini semula dibacakan sendirian oleh seorang pemimpin sebagai ajakan memulai pendarasan. Hanya sutta-sutta dari redaksi asli yang biasanya dicetak dengan didahului nidāna; ketujuh sutta tambahan tidak (lihat, misalnya, di sini). Asal-muasal nidāna barangkali dari Asia Tenggara, di mana mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari koleksi-koleksi paritta lokal dan selalu diikutsertakan dalam pendarasan (contohnya pada Mahā Paritta Birma). Mereka mungkin diimpor serta ditambahkan ke dalam salinan-salinan Sri Lanka sebelum penambahan Atirekāni Sattasuttāni terjadi — namun, jelas, setelah Catu Bhāṇavāra diperkenalkan ke Thailand, sebab teks-teks dalam Catubbhāṇavāra Thai pun tidak disertai dengannya. Penggunaan nidāna dalam tradisi Sri Lanka tidak seragam. Ada ordo tertentu yang mendaraskannya; tetapi sebagian besar lain mengabaikannya. Karena lebih sering hanya menjadi hiasan yang tak dibaca, beberapa cetakan Catu Bhāṇavāra modern membuangnya bulat-bulat (misalnya ini dan ini).
Tadarus Paritta Semalam Suntuk
Aplikasi yang paling impresif atas Catu Bhāṇavāra adalah pendarasannya dalam ritual paritta semalam suntuk (sarvarātrika pirit සර්වරාත්රික පිරිත්). Tradisi yang hanya dapat dijumpai di Sri Lanka ini biasa diadakan untuk berbagai keperluan, privat maupun publik. Sekelompok bhikkhu dapat diundang mendaraskan isi satu buku Catu Bhāṇavāra secara keseluruhan ketika seseorang pindah rumah, untuk memberkati kediaman barunya. Tadarus juga dapat dilakukan untuk mendoakan kesembuhan pasien yang sakit keras, atau dalam peringatan kematian anggota keluarga yang telah wafat. Pada ritual yang disponsori publik, tadarus akan diulangi hingga tujuh malam demi tujuan, misalnya, menolak wabah penyakit atau eksorsisme.
Persiapan yang kompleks dibutuhkan untuk menyelenggarakan ritual paritta semalam suntuk. Pertama-tama suatu maṇḍapa atau pendopo terbuka bersisi delapan (atau, yang lebih sederhana, bersisi empat) didirikan di dalam ruangan situs upacara. Bangunan sementara ini terbuat dari kayu atau bambu, dinaungi sebuah kanopi putih, dan dapat dihias seindah dan sekreatif mungkin dengan bebungaan, pita warna-warni, janur, dsb. Pada langit-langit sebelah dalam, digantungkan daun-daun bodhi, sirih, bunga pinang, dsb. Maṇḍapa seringkali agak ditinggikan dari lantai ruangan sekitarnya, dan dicapai dengan satu-dua undak anak tangga melalui pintu masuk di sisi timur. Kursi-kursi tempat duduk para bhikkhu diletakkan di dalamnya, mengelilingi sebuah meja di tengah-tengah. (Pada ritual yang lebih meriah, bahkan hingga enam belas kursi disediakan.) Kursi-kursi dan meja ini semuanya ditutupi kain putih.
Permukaan meja (atau kadang-kadang keseluruhan lantai maṇḍapa) ditaburi dengan lima materi penyuci: beras sangrai, melukut, kuntum melati, biji sesawi, dan rumput benggala. Sebuah bejana berisi air yang telah disaring juga ditaruh di atas meja dan ditutup dengan hiasan janur. Bejana ini lalu dililit dengan salah satu ujung benang paritta, yang terbuat dari tiga utas benang putih yang disatukan. Lilitan pada bejana air tadi harus menyisakan ujung yang masih cukup panjang. Sisa ujung ini akan digunakan untuk melilit stūpa kecil dan keropak paritta yang dibawa para bhikkhu dan diletakkan di atas meja. Pangkal benang paritta disangkutkan pada cincin-cincin (biasanya dari janur) yang tergantung dari langit-langit maṇḍapa sebelum upacara dimulai. Pangkal ini nantinya akan diulurkan kepada bhikkhu-bhikkhu yang hadir serta para pendengar paritta untuk dipegang. Selesai upacara, benang paritta itu akan dipotong-potong dan dibagikan kepada para pendengar untuk diikat di pergelangan tangan. Demikian pula air di dalam bejana akan dibagikan untuk diminum atau dipercikkan sesuai kebutuhan. Kerapkali para bhikkhu membawa gulungan benang sendiri hanya untuk dililitkan ke stūpa kecil, keropak paritta, dan bejana air, lalu dipegang oleh mereka sendiri. Gulungan ini tidak dibagikan di akhir upacara. Para pendengar memegang benang paritta sendiri (yang terdiri atas tiga utas benang putih), yang ujungnya dikaitkan saja ke gulungan benang para bhikkhu tersebut.
Di luar maṇḍapa, pada kedelapan sudutnya, ditempatkan delapan vas (atau, yang lebih sederhana, hanya dua di sisi kiri dan kanan pintu masuk). Masing-masing vas ini berisi mayang, serta ditutup dengan semangkuk pelita minyak kelapa dan beberapa batang hio yang menyala. Lampu-lampu listrik warna-warni lebih sering digunakan di zaman modern ini untuk menerangi maṇḍapa.
Dua kursi pada sisi yang berseberangan dengan pintu masuk maṇḍapa merupakan tempat duduk utama. Keduanya akan diduduki bergiliran oleh dua demi dua bhikkhu, yang mendaras Catu Bhāṇavāra secara bersambung. Hanya pada Ritus Pembuka para bhikkhu menduduki semua kursi bersama-sama. Sewaktu pendarasan mulai berlanjut ke Catu Bhāṇavāra, dua orang saja yang akan tetap tinggal dan sisanya keluar. Kedua bhikkhu ini akan digantikan oleh dua bhikkhu lain setiap jam sekali. Akhirnya, secara bertahap semua akan kembali ke maṇḍapa ketika pendarasan sampai pada Āṭānāṭiya Sutta, dan bergabung melafal hingga akhir Ritus Penutup.
Di belakang kedua kursi utama — tepat di antara keduanya — dipancangkan sebuah tonggak yang disebut indrakīla. Tonggak ini dibuat dari cabang pohon barulaut yang dibungkus dengan kain putih. Ujung atas kain tersebut dimekarkan sehingga berbentuk seperti kipas, kemudian dihiasi dengan mayang, janur berbentuk roda, dsb. Kedua kursi utama akan diikat erat-erat ke tonggak tersebut. Istilah indrakīla biasanya digunakan untuk menyebut tiang sokoguru yang menyokong pusat sebuah stūpa di bagian dalamnya. Beberapa penafsiran atas indrakīla dalam maṇḍapa telah direka, antara lain sebagai lambang Gunung Meru (pusat dunia) atau tiang yūpa untuk mengikat kurban dalam upacara Veda. Namun, simbolisasi yang sebenarnya barangkali sebagai pohon bodhi. Suara bhikkhu-bhikkhu yang mendaras di bawahnya seolah-olah ialah suara Buddha sendiri, yang memberikan khotbah Dharma setelah Tercerahkan Sempurna dengan duduk di bawah pohon bodhi menghadap arah timur (yang merupakan sisi pintu masuk maṇḍapa).
Akhirnya ritual dimulai sekitar pukul delapan atau sembilan malam. Sponsor upacara akan pergi ke vihāra untuk menjemput para bhikkhu. Para bhikkhu datang dalam sebuah prosesi meriah dengan diiringi tetabuhan genderang dan tiupan terompet. Berjalan paling muka adalah dua orang awam yang masing-masing menjunjung di atas kepalanya stūpa kecil berisi relik Buddha dan keropak Catu Bhāṇavāra dari daun lontar. Dua orang lagi berjalan di sisi sambil membawa payung putih atau kuning untuk menaungi objek-objek suci ini. Kedua objek ini akan diletakkan di atas meja di tengah-tengah maṇḍapa — melambangkan kehadiran Buddha (relik), Dharma (keropak paritta), dan Saṅgha (para bhikkhu) di dalam upacara. Tepat sebelum menaiki maṇḍapa, beberapa umat yang telah menunggu di depan pintu masuk akan mencuci kaki para bhikkhu dan menyekanya dengan kain kering. Para bhikkhu lalu menduduki kursi-kursi yang telah disediakan di dalam maṇḍapa. Persembahan berupa sirih pinang dihaturkan untuk memohon mereka membacakan paritta, diiringi dengan syair Vipattipaṭibāhāya … (lihat “Tuntunan Kebaktian” nomor ⒄ pada PS). Selanjutnya salah seorang bhikkhu yang paling senior akan memberikan sepatah dua patah kata pengantar, dan diikuti dengan Permohonan Tisaraṇa dan Pañcasīla oleh umat yang hadir.
Ritus Pembuka
Pendarasan kemudian diawali dengan Ritus Pembuka, yang dapat bervariasi antara ordo (nikāya) yang satu dengan yang lain di Sri Lanka. Sebuah format standar yang biasa dibawakan adalah seperti di bawah ini: 〔Contoh yang lebih sederhana dapat dilihat di sini.〕
Sesi pertama di atas biasanya sama pada setiap ordo. Sesi kedua berikut ini dapat berlainan urut-urutan ataupun isinya:
Pendarasan berhenti seketika, dan para bhikkhu mulai melilitkan gulungan benang ke stūpa, keropak paritta, dsb. Pelilitan baru dilakukan di sini, barangkali sebagai amplifikasi bait terakhir (… rakkhaṁ bandhāma sabbaso ‘kami mengikat penjagaan di semua segi’). Berikutnya ketiga ‘paritta agung’ (mahāparitta), yakni Tun Sūtraya, mulai dibacakan walau sebetulnya nanti termuat juga dalam Catu Bhāṇavāra. Masing-masing sutta diakhiri dengan tiga etena:
Ritus Penutup
Mendekati subuh, semua bhikkhu akan kembali memasuki maṇḍapa untuk bergabung mendaraskan Āṭānāṭiya Sutta, teks terakhir dari Catu Bhāṇavāra. Setelah selesai, ritual dikhatamkan dengan Ritus Penutup sebagai berikut:
Usai sudah pendarasan para bhikkhu sampai di sini. Bagian berikutnya merupakan upacara dari umat yang telah hadir mendengarkan paritta semalam suntuk atau telah menjadi sponsor:
Ritual berakhir di sini. Benang paritta dapat dibuka dan dipotong-potong. Air paritta juga dibagikan kepada umat dengan menuangkannya dari sebuah teko kecil. Umat maju satu per satu untuk menerimanya di telapak tangan dan langsung menyeruputnya. Sisa kelembapan di telapak tangan diusapkan ke ubun-ubun kepala masing-masing. Para bhikkhu kemudian meninggalkan maṇḍapa untuk menerima dāna makan pagi.
Dibandingkan dengan koleksi-koleksi lain, penggunaan Catu Bhāṇavāra paling terdokumentasikan sejarahnya. Namun, kapan dan oleh siapa ia dikompilasi? Ada yang meyakini para arahat di Rājagaha yang menyusunnya tidak lama setelah Konsili Pertama selesai. Pendapat ini jelas anakronistis karena pada saat finalisasi Kanon Pāli pun baru terdapat buku Khuddaka Pāṭha, yang merupakan prototipe dari Catu Bhāṇavāra. Mengomentari Bhikkhu-pācittiya dari Vinaya Piṭaka, dalam Samantapāsādikā (“Ovāda Vagga”) Buddhaghosa menyebutkan adanya ‘empat pembacaan dari suttanta’ (suttantato cattāro bhāṇavārā). Akan tetapi, dari konteksnya sepertinya bukan merujuk pada suatu koleksi paritta. Sebuah tradisi lain lagi menyatakan bahwa kira-kira 900 tahun setelah Buddha parinirvāṇa (k.l. abad IV M) sekelompok bhikkhu di Sri Lanka menyusunnya. Namun, keterangan yang lebih pasti diperoleh dari inskripsi Raja Kassapa V (memerintah 929–939 M) yang ditemukan di daerah Jetavana di situs kota kuno Anurādhapura. Ia memaklumatkan agar setiap orang yang hendak menerima upasampadā harus terlebih dahulu menghafal Catu Bhāṇavāra di luar kepala — menunjukkan eksistensi buku ini di abad X.
Komentar berbahasa Pāli untuk Catu Bhāṇavāra dibuat oleh seorang siswa dari Bhikkhu Ānanda Vanaratana (tampaknya dari periode Dam̆badeṇiya, abad XIII) atas permintaan Anomadassī Thera, dengan judul Sāratthasamuccaya (‘Himpunan Arti Esensial’). Saṅgharāja Sri Lanka terakhir, Saraṇaṅkara (1698–1778), juga menyusun komentar dalam bahasa Sinhala yang berjudul Sārārtha Dīpanī (‘Manual Arti Esensial’). Namun, ia mengatakan bahwa ia bukan mengarang langsung komentar ini, melainkan hanya memparafrase komentar-komentar Sinhala lain yang sudah beredar sebelumnya.
Ada dua redaksi Catu Bhāṇavāra. Redaksi asli hanya memuat 22 teks. Redaksi inilah yang dikomentari dalam Sāratthasamuccaya maupun Sārārtha Dīpanī. Redaksi ini pula yang diperkenalkan ke Birma dan Thailand (di mana judulnya dieja dengan b dobel, Catubbhāṇavāra) berabad-abad lampau. Mengingat, selain di Sri Lanka, penggunaan Catu Bhāṇavāra hanya berlanjut di Thailand, maka keduanya saja yang akan diperbandingkan pada tabel berikut. Terdapat perbedaan pembagian bhāṇavāra antara edisi Sri Lanka dengan edisi Thai:
Edisi Sri Lanka (redaksi asli) | Edisi Thai (lihat The Book of Chants: being the Romanized edition of the “Royal Thai Chanting Book” hlm. 130–169) |
---|---|
BHĀṆAVĀRA I | BHĀṆAVĀRA I |
* Walaupun menggunakan kata “Paritta”, masing-masing teks ini sebenarnya merupakan petikan satu sutta secara utuh. Edisi Thai memberikan judul yang sedikit berbeda. |
|
BHĀṆAVĀRA II | BHĀṆAVĀRA II |
|
|
BHĀṆAVĀRA III | BHĀṆAVĀRA III |
|
|
BHĀṆAVĀRA IV | BHĀṆAVĀRA IV |
|
|
Dari bhāṇavāra pertamanya dapat kita lihat bahwa Catu Bhāṇavāra berakar dari tradisi yang sama dengan Khuddaka Pāṭha. Catu Bhāṇavāra menyisipkan Paccavekkhanā dan Dasadhamma Sutta setelah empat teks pertama dan, di sisi lain, menghapuskan Tirokuḍḍa dan Nidhikaṇḍa dari antara Ratana Sutta dan Metta Sutta.
Redaksi Sri Lanka Modern
Redaksi kedua, yang lebih panjang, memuat 29 teks. Redaksi ini dapat dijumpai hampir di setiap rumah di Sri Lanka modern, dan lebih dikenal dengan sebutan terhormat Piruvānā Pot Vahansē පිරුවානා පොත් වහන්සේ (‘Paduka Pustaka Pendarasan’) atau Maha Pirit Pota මහ පිරිත් පොත (‘Pustaka Paritta Agung’). Antara bhāṇavāra kedua dan ketiga dari redaksi asli, kini disisipkan tujuh sutta tambahan (dalam terjemahan Bhikkhu Ānandajoti disebut “Atirekāni Sattasuttāni”). Ketujuh sutta tersebut adalah:
- Dhammacakkappavattana Sutta
- Mahāsamaya Sutta
- Ālavaka Sutta
- Kasī Bhāradvāja Sutta
- Parābhava Sutta
- Vasala Sutta
- Saccavibhaṅga Sutta
Satu hal lagi yang patut dicermati adalah keberadaan bait-bait pengantar paritta yang diistilahkan dengan sebutan bermacam-macam: nidāna, uddesa, atau uyyojana (‘pengajakan’). Bait-bait yang pengarangnya anonim ini semula dibacakan sendirian oleh seorang pemimpin sebagai ajakan memulai pendarasan. Hanya sutta-sutta dari redaksi asli yang biasanya dicetak dengan didahului nidāna; ketujuh sutta tambahan tidak (lihat, misalnya, di sini). Asal-muasal nidāna barangkali dari Asia Tenggara, di mana mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari koleksi-koleksi paritta lokal dan selalu diikutsertakan dalam pendarasan (contohnya pada Mahā Paritta Birma). Mereka mungkin diimpor serta ditambahkan ke dalam salinan-salinan Sri Lanka sebelum penambahan Atirekāni Sattasuttāni terjadi — namun, jelas, setelah Catu Bhāṇavāra diperkenalkan ke Thailand, sebab teks-teks dalam Catubbhāṇavāra Thai pun tidak disertai dengannya. Penggunaan nidāna dalam tradisi Sri Lanka tidak seragam. Ada ordo tertentu yang mendaraskannya; tetapi sebagian besar lain mengabaikannya. Karena lebih sering hanya menjadi hiasan yang tak dibaca, beberapa cetakan Catu Bhāṇavāra modern membuangnya bulat-bulat (misalnya ini dan ini).
Tadarus Paritta Semalam Suntuk
Aplikasi yang paling impresif atas Catu Bhāṇavāra adalah pendarasannya dalam ritual paritta semalam suntuk (sarvarātrika pirit සර්වරාත්රික පිරිත්). Tradisi yang hanya dapat dijumpai di Sri Lanka ini biasa diadakan untuk berbagai keperluan, privat maupun publik. Sekelompok bhikkhu dapat diundang mendaraskan isi satu buku Catu Bhāṇavāra secara keseluruhan ketika seseorang pindah rumah, untuk memberkati kediaman barunya. Tadarus juga dapat dilakukan untuk mendoakan kesembuhan pasien yang sakit keras, atau dalam peringatan kematian anggota keluarga yang telah wafat. Pada ritual yang disponsori publik, tadarus akan diulangi hingga tujuh malam demi tujuan, misalnya, menolak wabah penyakit atau eksorsisme.
Persiapan yang kompleks dibutuhkan untuk menyelenggarakan ritual paritta semalam suntuk. Pertama-tama suatu maṇḍapa atau pendopo terbuka bersisi delapan (atau, yang lebih sederhana, bersisi empat) didirikan di dalam ruangan situs upacara. Bangunan sementara ini terbuat dari kayu atau bambu, dinaungi sebuah kanopi putih, dan dapat dihias seindah dan sekreatif mungkin dengan bebungaan, pita warna-warni, janur, dsb. Pada langit-langit sebelah dalam, digantungkan daun-daun bodhi, sirih, bunga pinang, dsb. Maṇḍapa seringkali agak ditinggikan dari lantai ruangan sekitarnya, dan dicapai dengan satu-dua undak anak tangga melalui pintu masuk di sisi timur. Kursi-kursi tempat duduk para bhikkhu diletakkan di dalamnya, mengelilingi sebuah meja di tengah-tengah. (Pada ritual yang lebih meriah, bahkan hingga enam belas kursi disediakan.) Kursi-kursi dan meja ini semuanya ditutupi kain putih.
Permukaan meja (atau kadang-kadang keseluruhan lantai maṇḍapa) ditaburi dengan lima materi penyuci: beras sangrai, melukut, kuntum melati, biji sesawi, dan rumput benggala. Sebuah bejana berisi air yang telah disaring juga ditaruh di atas meja dan ditutup dengan hiasan janur. Bejana ini lalu dililit dengan salah satu ujung benang paritta, yang terbuat dari tiga utas benang putih yang disatukan. Lilitan pada bejana air tadi harus menyisakan ujung yang masih cukup panjang. Sisa ujung ini akan digunakan untuk melilit stūpa kecil dan keropak paritta yang dibawa para bhikkhu dan diletakkan di atas meja. Pangkal benang paritta disangkutkan pada cincin-cincin (biasanya dari janur) yang tergantung dari langit-langit maṇḍapa sebelum upacara dimulai. Pangkal ini nantinya akan diulurkan kepada bhikkhu-bhikkhu yang hadir serta para pendengar paritta untuk dipegang. Selesai upacara, benang paritta itu akan dipotong-potong dan dibagikan kepada para pendengar untuk diikat di pergelangan tangan. Demikian pula air di dalam bejana akan dibagikan untuk diminum atau dipercikkan sesuai kebutuhan. Kerapkali para bhikkhu membawa gulungan benang sendiri hanya untuk dililitkan ke stūpa kecil, keropak paritta, dan bejana air, lalu dipegang oleh mereka sendiri. Gulungan ini tidak dibagikan di akhir upacara. Para pendengar memegang benang paritta sendiri (yang terdiri atas tiga utas benang putih), yang ujungnya dikaitkan saja ke gulungan benang para bhikkhu tersebut.
Di luar maṇḍapa, pada kedelapan sudutnya, ditempatkan delapan vas (atau, yang lebih sederhana, hanya dua di sisi kiri dan kanan pintu masuk). Masing-masing vas ini berisi mayang, serta ditutup dengan semangkuk pelita minyak kelapa dan beberapa batang hio yang menyala. Lampu-lampu listrik warna-warni lebih sering digunakan di zaman modern ini untuk menerangi maṇḍapa.
Dua kursi pada sisi yang berseberangan dengan pintu masuk maṇḍapa merupakan tempat duduk utama. Keduanya akan diduduki bergiliran oleh dua demi dua bhikkhu, yang mendaras Catu Bhāṇavāra secara bersambung. Hanya pada Ritus Pembuka para bhikkhu menduduki semua kursi bersama-sama. Sewaktu pendarasan mulai berlanjut ke Catu Bhāṇavāra, dua orang saja yang akan tetap tinggal dan sisanya keluar. Kedua bhikkhu ini akan digantikan oleh dua bhikkhu lain setiap jam sekali. Akhirnya, secara bertahap semua akan kembali ke maṇḍapa ketika pendarasan sampai pada Āṭānāṭiya Sutta, dan bergabung melafal hingga akhir Ritus Penutup.
Di belakang kedua kursi utama — tepat di antara keduanya — dipancangkan sebuah tonggak yang disebut indrakīla. Tonggak ini dibuat dari cabang pohon barulaut yang dibungkus dengan kain putih. Ujung atas kain tersebut dimekarkan sehingga berbentuk seperti kipas, kemudian dihiasi dengan mayang, janur berbentuk roda, dsb. Kedua kursi utama akan diikat erat-erat ke tonggak tersebut. Istilah indrakīla biasanya digunakan untuk menyebut tiang sokoguru yang menyokong pusat sebuah stūpa di bagian dalamnya. Beberapa penafsiran atas indrakīla dalam maṇḍapa telah direka, antara lain sebagai lambang Gunung Meru (pusat dunia) atau tiang yūpa untuk mengikat kurban dalam upacara Veda. Namun, simbolisasi yang sebenarnya barangkali sebagai pohon bodhi. Suara bhikkhu-bhikkhu yang mendaras di bawahnya seolah-olah ialah suara Buddha sendiri, yang memberikan khotbah Dharma setelah Tercerahkan Sempurna dengan duduk di bawah pohon bodhi menghadap arah timur (yang merupakan sisi pintu masuk maṇḍapa).
Akhirnya ritual dimulai sekitar pukul delapan atau sembilan malam. Sponsor upacara akan pergi ke vihāra untuk menjemput para bhikkhu. Para bhikkhu datang dalam sebuah prosesi meriah dengan diiringi tetabuhan genderang dan tiupan terompet. Berjalan paling muka adalah dua orang awam yang masing-masing menjunjung di atas kepalanya stūpa kecil berisi relik Buddha dan keropak Catu Bhāṇavāra dari daun lontar. Dua orang lagi berjalan di sisi sambil membawa payung putih atau kuning untuk menaungi objek-objek suci ini. Kedua objek ini akan diletakkan di atas meja di tengah-tengah maṇḍapa — melambangkan kehadiran Buddha (relik), Dharma (keropak paritta), dan Saṅgha (para bhikkhu) di dalam upacara. Tepat sebelum menaiki maṇḍapa, beberapa umat yang telah menunggu di depan pintu masuk akan mencuci kaki para bhikkhu dan menyekanya dengan kain kering. Para bhikkhu lalu menduduki kursi-kursi yang telah disediakan di dalam maṇḍapa. Persembahan berupa sirih pinang dihaturkan untuk memohon mereka membacakan paritta, diiringi dengan syair Vipattipaṭibāhāya … (lihat “Tuntunan Kebaktian” nomor ⒄ pada PS). Selanjutnya salah seorang bhikkhu yang paling senior akan memberikan sepatah dua patah kata pengantar, dan diikuti dengan Permohonan Tisaraṇa dan Pañcasīla oleh umat yang hadir.
Ritus Pembuka
Pendarasan kemudian diawali dengan Ritus Pembuka, yang dapat bervariasi antara ordo (nikāya) yang satu dengan yang lain di Sri Lanka. Sebuah format standar yang biasa dibawakan adalah seperti di bawah ini: 〔Contoh yang lebih sederhana dapat dilihat di sini.〕
- Devārādhanā — Mengundang para dewa, dalam bentuk singkat yang hanya terdiri atas satu bait sebagaimana lazimnya dalam tradisi Sri Lanka (lihat DR):
Samantā cakkavāḷesu … suṇantu saggamokkhadaṁ.
Langsung disambung dengan:
Parittassavaṇakālo ayaṁ bhadantā! (tiga kali).
- Namaskāra — Yakni Pubbabhāga Namakkāra:
Namo tassa … (tiga kali).
- Buddhā-, Dhammā-, dan Saṅghānussati dalam bentuk singkat (lihat “Tuntunan Kebaktian” nomor ⑺, ⑻, ⑼ pada PS), dan ditutup dengan:
Etena saccavajjena … (tiga kali, dapat berbeda-beda tergantung ordo yang mendaraskannya).
Sesi pertama di atas biasanya sama pada setiap ordo. Sesi kedua berikut ini dapat berlainan urut-urutan ataupun isinya:
- Paṭhama Buddhavacana — Seruan pertama Buddha setelah mencapai Pencerahan Sempurna (yakni Dhammapada bait 153–154 pada PB, atau Udāna Gāthā pada DR).
- Paṭicca Samuppāda — Rumusan dua belas mata rantai Kemunculan yang Saling Bergantungan, dibacakan dalam urutan maju (anuloma) dan mundur (paṭiloma).
- Jayamaṅgala Gāthā — Delapan bait kemenangan:
Bāhuṁ sahassaṁ …,
dan ditutup seperlunya dengan berbagai bait pemberkatan seperti:
Yaṁ dunnimittaṁ … (Abhaya Paritta pada PS).
Bhavatu sabbamaṅgalaṁ … (Sumaṅgala Gāthā Ⅱ pada PS).
Nakkhatta yakkha bhūtānaṁ … (tiga kali; lihat nomor 27 pada PB, atau 32 pada DDSAB).
Sabbe Buddhā balappattā … (lihat nomor 27 pada PB, atau 32 pada DDSAB).
Pendarasan berhenti seketika, dan para bhikkhu mulai melilitkan gulungan benang ke stūpa, keropak paritta, dsb. Pelilitan baru dilakukan di sini, barangkali sebagai amplifikasi bait terakhir (… rakkhaṁ bandhāma sabbaso ‘kami mengikat penjagaan di semua segi’). Berikutnya ketiga ‘paritta agung’ (mahāparitta), yakni Tun Sūtraya, mulai dibacakan walau sebetulnya nanti termuat juga dalam Catu Bhāṇavāra. Masing-masing sutta diakhiri dengan tiga etena:
- Maṅgala Sutta
- Ratana Sutta
- Metta Sutta
Ritus Penutup
Mendekati subuh, semua bhikkhu akan kembali memasuki maṇḍapa untuk bergabung mendaraskan Āṭānāṭiya Sutta, teks terakhir dari Catu Bhāṇavāra. Setelah selesai, ritual dikhatamkan dengan Ritus Penutup sebagai berikut:
- Namaskāra:
Namo tassa … (tiga kali).
- Karaṇīya Metta Sutta — Diakhiri dengan tiga etena seperti biasa.
- Jinapañjara — ‘Penjara sang Penakluk’ versi panjang dalam 22 bait (lihat DR).
- Dedikasi jasa-jasa bagi para dewa:
Dukkhappattā ca niddukkhā … (bait pertama Dukkhappattādigāthā pada PS).
Ākāsaṭṭhā ca bhummaṭṭhā … ciraṁ rakkhantu lokasāsanaṁ (dapat diulangi tiga kali).
Devo vassatu kālena ….
Usai sudah pendarasan para bhikkhu sampai di sini. Bagian berikutnya merupakan upacara dari umat yang telah hadir mendengarkan paritta semalam suntuk atau telah menjadi sponsor:
- Mula-mula Permohonan Tisaraṇa dan Pañcasīla kepada para bhikkhu dilakukan sekali lagi. Lalu disusul dengan:
- Ettāvatā — Tiga kali dengan baris ketiga masing-masing diganti:
- sabbedevā
- sabbebhūtā
- sabbesattā
- Ākāsaṭṭhā — Tiga kali dengan kata terakhir masing-masing diganti:
- lokasāsanaṁ
- desanaṁ
- maṁ paraṁ atau maṁ sadā
- Idaṁ vo — Tiga kali, dapat disertai dengan ritus penuangan air ke mangkuk sebagai simbol penyaluran jasa.
Ritual berakhir di sini. Benang paritta dapat dibuka dan dipotong-potong. Air paritta juga dibagikan kepada umat dengan menuangkannya dari sebuah teko kecil. Umat maju satu per satu untuk menerimanya di telapak tangan dan langsung menyeruputnya. Sisa kelembapan di telapak tangan diusapkan ke ubun-ubun kepala masing-masing. Para bhikkhu kemudian meninggalkan maṇḍapa untuk menerima dāna makan pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar